Sumber Poto |
1. Pada tahun 2016 kemarin, Kemkominfo bersama Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi tengah menertibkan terminasi trafik internasional. Dan Penyalahgunaan ini berpotensi banyak menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 1,26 triliun per tahun. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, penertiban ini dilakukan Tim Penertiban Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika, Direktorat Jenderal Peyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemkominfo bersama PPNS Balmon Kelas I Jakarta, PPNS Balmon Kelas II Bandung, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi. “Tujuannya adalah menciptakan ketertiban oleh Penyelenggaraan Telekomunikasi, menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha dibidang Telekomunikasi, serta menjamin kualitas telekomunikasi kepada masyarakat.
Dalam
penjelasan pada khasusu ini Penyalahgunaan Trafik Terminasi Internasional
adalah penyaluran trafik dari luar negeri dengan menggunakan jalur dan perangkat
tertentu secara tidak sah. Penyalahgunaan ini berpotensi menimbulkan kerugian
industri telekomunikasi sekitar Rp 105 miliar per bulan atau Rp 1,26 triliun
per tahun. Sejak bulan Desember 2014 hingga bulan Januari 2015, Tim Penertiban
berhasil membongkar kasus-kasus penyalahgunaan trafik-trafik terminasi
internasional (RTTI). Beberapa kasus yang dibongkar adalah kasus RTTI di
wilayah Indramayu, Bogor dan Jakarta. Kasus di Jakarta merupakan yang terbesar
di mana pendapatan pelaku pada bulan Desember dari satu partner saja di luar
negeri sebesar U$ 25,362 atau setara sekitar Rp 323.347.680,-.
Dalam
Dugaan pelanggaran yang disangkakan terhadap UU 36 tahun 1999 tentang
telekomunikasi adalah Pasal 11 ayat (1), Pasal 22 dan Pasal 32 ayat (1) dengan
ancaman hukuman berdasarkan pasal 47, pasal 50 dan pasal 52 berupa penjara
maksimal selama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Tindakan yang
dilakukan oleh tim penertiban salah satunya agar membuat jera para
penyelenggara telekomunikasi illegal yang menggunakan perangkat telekomunikasi
tanpa izin. Hal ini berakibat menyedot dana masyarakat luas dan berimplikasi
timbulnya kerugian negara, misalnya penyelenggara ilegal dimaksud tidak
membayar pajak dan kewajiban membayar BHP Jasa Telekomunikasi, USO, dan biaya
sertifikasi perangkat telekomunikasi (PNBP). Bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Tim Penertiban selaku PPNS di lingkungan Kemkominfo bersama dengan Korwas Polda
Metro Jaya merupakan langkah yang tepat untuk mencegah tindak pidana bidang
Telekomunikasi sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
2.
Pada
6 November 2018 di jakarta, pada khasus ini ada Seorang terdakwa kasus tindak
pidana narkotika memohonkan uji materi UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi
agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas pihak yang dapat meminta rekaman
telepon dalam proses peradilan pidana. Pasal 42 ayat (1) UU Telekomunikasi
mewajibkan penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang
diterima atau dikirim pelanggan melalui jaringannya. Namun, Pasal 42 ayat (2)
beleid tersebut membolehkan informasi atau rekaman diberikan kepada tiga pihak
eksternal guna kepentingan proses peradilan pidana.
Ketiga
pihak itu adalah Jaksa Agung, Kepala Polri, dan penyidik untuk perkara
tertentu. Jaksa Agung dan Kapolri harus meminta secara tertulis kepada operator
telekomunikasi, sedangkan permintaan penyidik disesuaikan dengan UU yang
berlaku.
Sadikin
Arifin, seorang terdakwa kasus tindak pidana narkotika, merasa dirugikan hak
konstitusionalnya dengan pemberlakuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi
karena membatasi permintaan rekaman pada tiga pihak. Sadikin didakwa oleh jaksa
penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terlibat kasus
penyelundupan narkoba dengan warga negara asing (WNA). Di persidangan, dia
membantah terlibat dalam jaringan WNA karena hubungannya dengan orang asing
tersebut hanya sebagai penerjemah. Namun, bantahan itu belum terklarifikasi
karena sang WNA telah tewas di tangan Badan Narkotika Nasional (BNN) saat
penangkapan. Menurut Sadikin, satu-satunya bukti untuk memperkuat sangkalannya
adalah rekaman komunikasi antara dirinya dengan almarhum. Meski demikian, JPU
yang atas nama Jaksa Agung memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU
Telekomunikasi tidak menghadirkan rekaman tersebut di pengadilan. Majelis Hakim
PN Jakut pun tidak tegas memerintahkan JPU untuk meminta rekaman meski ponsel
sudah disita oleh JPU. Beberapa bukti rekaman yang kami ambil ; “Bukti rekaman
tersebut sesungguhnya memiliki kedudukan krusial untuk membuktikan
benar-tidaknya ada pembahasan narkotika antara pemohon dengan WNA tersebut atau
dengan pihak manapun,” tulis Ma’ruf, kuasa hukum Sadikin, dalam berkas
permohonan uji materi yang diajukan di Jakarta, Selasa (6/11/2018).
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih telah berkunjung di pengetahuan kepri, silah kan beri komentar dan saran yag positif.