--> Kasus Tentang UU Telekomunikasi | PENGETAHUAN KEPRI

13 October, 2019

Kasus Tentang UU Telekomunikasi

| 13 October, 2019
Beberapa Kasus Tentang UU Telekomunikasi sebagai berikut :
 Sumber Poto

1.     
Pada tahun 2016 kemarin, Kemkominfo bersama Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi tengah menertibkan terminasi trafik internasional. Dan Penyalahgunaan ini berpotensi banyak menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 1,26 triliun per tahun. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu mengatakan, penertiban ini dilakukan Tim Penertiban Direktorat Pengendalian Pos dan Informatika, Direktorat Jenderal Peyelenggaraan Pos dan Informatika, Kemkominfo bersama PPNS Balmon Kelas I Jakarta, PPNS Balmon Kelas II Bandung, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dan operator telekomunikasi. “Tujuannya adalah menciptakan ketertiban oleh Penyelenggaraan Telekomunikasi, menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha dibidang Telekomunikasi, serta menjamin kualitas telekomunikasi kepada masyarakat.
Dalam penjelasan pada khasusu ini Penyalahgunaan Trafik Terminasi Internasional adalah penyaluran trafik dari luar negeri dengan menggunakan jalur dan perangkat tertentu secara tidak sah. Penyalahgunaan ini berpotensi menimbulkan kerugian industri telekomunikasi sekitar Rp 105 miliar per bulan atau Rp 1,26 triliun per tahun. Sejak bulan Desember 2014 hingga bulan Januari 2015, Tim Penertiban berhasil membongkar kasus-kasus penyalahgunaan trafik-trafik terminasi internasional (RTTI). Beberapa kasus yang dibongkar adalah kasus RTTI di wilayah Indramayu, Bogor dan Jakarta. Kasus di Jakarta merupakan yang terbesar di mana pendapatan pelaku pada bulan Desember dari satu partner saja di luar negeri sebesar U$ 25,362 atau setara sekitar Rp 323.347.680,-.
Dalam Dugaan pelanggaran yang disangkakan terhadap UU 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi adalah Pasal 11 ayat (1), Pasal 22 dan Pasal 32 ayat (1) dengan ancaman hukuman berdasarkan pasal 47, pasal 50 dan pasal 52 berupa penjara maksimal selama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Tindakan yang dilakukan oleh tim penertiban salah satunya agar membuat jera para penyelenggara telekomunikasi illegal yang menggunakan perangkat telekomunikasi tanpa izin. Hal ini berakibat menyedot dana masyarakat luas dan berimplikasi timbulnya kerugian negara, misalnya penyelenggara ilegal dimaksud tidak membayar pajak dan kewajiban membayar BHP Jasa Telekomunikasi, USO, dan biaya sertifikasi perangkat telekomunikasi (PNBP). Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Tim Penertiban selaku PPNS di lingkungan Kemkominfo bersama dengan Korwas Polda Metro Jaya merupakan langkah yang tepat untuk mencegah tindak pidana bidang Telekomunikasi sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

2.      Pada 6 November 2018 di jakarta, pada khasus ini ada Seorang terdakwa kasus tindak pidana narkotika memohonkan uji materi UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas pihak yang dapat meminta rekaman telepon dalam proses peradilan pidana. Pasal 42 ayat (1) UU Telekomunikasi mewajibkan penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang diterima atau dikirim pelanggan melalui jaringannya. Namun, Pasal 42 ayat (2) beleid tersebut membolehkan informasi atau rekaman diberikan kepada tiga pihak eksternal guna kepentingan proses peradilan pidana.
Ketiga pihak itu adalah Jaksa Agung, Kepala Polri, dan penyidik untuk perkara tertentu. Jaksa Agung dan Kapolri harus meminta secara tertulis kepada operator telekomunikasi, sedangkan permintaan penyidik disesuaikan dengan UU yang berlaku.
Sadikin Arifin, seorang terdakwa kasus tindak pidana narkotika, merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan pemberlakuan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi karena membatasi permintaan rekaman pada tiga pihak. Sadikin didakwa oleh jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terlibat kasus penyelundupan narkoba dengan warga negara asing (WNA). Di persidangan, dia membantah terlibat dalam jaringan WNA karena hubungannya dengan orang asing tersebut hanya sebagai penerjemah. Namun, bantahan itu belum terklarifikasi karena sang WNA telah tewas di tangan Badan Narkotika Nasional (BNN) saat penangkapan. Menurut Sadikin, satu-satunya bukti untuk memperkuat sangkalannya adalah rekaman komunikasi antara dirinya dengan almarhum. Meski demikian, JPU yang atas nama Jaksa Agung memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi tidak menghadirkan rekaman tersebut di pengadilan. Majelis Hakim PN Jakut pun tidak tegas memerintahkan JPU untuk meminta rekaman meski ponsel sudah disita oleh JPU. Beberapa bukti rekaman yang kami ambil ; “Bukti rekaman tersebut sesungguhnya memiliki kedudukan krusial untuk membuktikan benar-tidaknya ada pembahasan narkotika antara pemohon dengan WNA tersebut atau dengan pihak manapun,” tulis Ma’ruf, kuasa hukum Sadikin, dalam berkas permohonan uji materi yang diajukan di Jakarta, Selasa (6/11/2018).



Related Posts

No comments:

Post a Comment

Terima Kasih telah berkunjung di pengetahuan kepri, silah kan beri komentar dan saran yag positif.