PEMBAHASAN
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85, 91).
Berdasarkan hasil riset, Fachrudin dkk. (1976) mengelompokkan, desa-desa pesisir ke dalam empat jenis, yaitu:
1) desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah;
2) desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri;
3) desa pesisir tipe nelayan/empang, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan
4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin, 1985: 108).
Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial.
A. Sistem Gender
Sistem gender adalah sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labor by sex) dalam masyarakat nelayan yang didasarkan pada persepsi kebudayaan yang ada. Dengan kata lain, sistem gender merupakan kontruksi sosial dari masyarakat nelayan yang terbentuk sebagai hasil evolutif dari suatu proses dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Sebagai produk budaya, sistem gender diwariskan secara sosial dari generasi ke generasi. Berdasarkan sistem gender masyarakat nelayan, pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan ”laut” merupakan ”ranah kaum laki-laki”, sedangkan wilayah ”darat” adalah ranah kerja ”kaum perempuan”.
Pekerjaan-pekerjaan di laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan,
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih telah berkunjung di pengetahuan kepri, silah kan beri komentar dan saran yag positif.